ISLAMISASI ILMU DAN PERKEMBANGANNYA


IDE-IDE TENTANG ISLAMISASI ILMU

A. Pengertian

    Tokoh-tokoh islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri tentang istilah ini, sesuai latar belakang dan keahlian masing-masing. Menurut Sayed Husein Nasr' islamisasi ilmu termasuk islamisasi budaya adalah upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat Muslim di mana mereka tinggal. Artinya, islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara pikir dan bertindak (epistemologis dan aksiologis) masyarakat Muslim dalam kaitannya dengan perkembangan dunia. Berdasar pengertian tersebut, islamisasi ilmu berarti upaya membangun kembali paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik pada aspek ontologis, epistemologis, atau aksiologisnya.

B. Sejarah

    Upaya untuk melakukan islamisasi ilmu, menurut beberapa sumber, kali pertama diangkat Sayyid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Saat itu, Nasr berbicara dan membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika. Menurutnya, apa yang dimaksud ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan "scientia" dalam istilah Latin; yang membedakan di antara keduanya adalah metode yang dipakai. Ilmu-ilmu keislaman tidak hanya menggunakan metodologi rasional dan cenderung positivistik, tetapi juga menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual, dan bahkan instuitif, sesuai dengan objek yang dikaji. Beberapa tahun kemudian, gagasan tersebut dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek islamisasi ilmu oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tahun 1977. Ia menulis makalah tentang itu dengan judul Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, yang disampaikan: di 'First World Conference on Mosleem Education' di Makkah, atas sponsor Universitas King Abdul Aziz. Ide ini selanjutnya lebih disempurnakan oleh Naquib sendiri, lewat bukunya yang berjudul The Concepts of Education in Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), di samping Islam and Secularism (Kuala Lumpur, ABIM, 1978). 
    Gagasan islamisasi ilmu ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari para intelektual Muslim dunia. Karena itu, pada 1977 itu juga diadakan konferensi internasional pertama di Swiss, untuk membahas lebih lanjut ide islamisasi ilmu tersebut. Konferensi yang dihadiri 30 partisan ini berusaha menelusuri penyebab terjadinya krisis di kalangan umat Islam dan cara mengatasinya. Solusi yang disepakati adalah mencari pendekatan secara sistematis dan mencari metodologi yang tepat untuk membangun sistem pengetahuan Islam mandiri sebagai yang fondasi peradaban Islam.
    Konferensi I tersebut ternyata memberi pengaruh besar bagi para ilmuwan Muslim dunia. Di Amerika, gerakan islamisasi ilmu disambut dan dipelopori oleh Ismael Raji Al-Faruqi (1921–1986 M) sehingga didirikan sebuah perguruan tinggi The International Institute of Islamic Thought (IIIT), tahun 1981 di Washington. Secara teperinci IIIT bertujuan antara lain: (1) meningkatkan pandangan Islam yang universal dalam mengkaji dan memperjelas permasalahan global Islam; (2) mengembalikan jati diri intelektual dan kultural umat Islam lewat usaha islamisasi ilmu, kemanusiaan dan sosial, dan meneliti serta memahami secara mendalam pemikiran kontemporer dalam dunia Islam untuk kemudian mencari kemungkinan solusinya;
    Kemudian, tahun 1983 diadakan konferensi II di Islamabad, Pakistan, untuk menindaklanjuti konferensi I. Konferensi II ini mempunyai dua tujuan: (1) mengekpos hasil-hasil konferensi I dan rumusan yang telah dihasilkan IIIT tentang cara mengatasi krisis di kalangan umat; (2) mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut, dan juga mencari penyebab dan gejalanya.

ISLAMISASI BAHASA SEBAGAI LANGKAH AWAL ISLAMISASI SAINS

Salah satu tokoh kunci dalam diskursus Islamisasi sains adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Dialah orang pertama yang secara eksplisit menyatakan dan "meresmikan" proyek Islamisasi ilmu ketika diadakan Konferensi Pendidikan Islam Internasional di Makkah, tahun 1977. Ide ini kemudian disempurnakannya sendiri lewat beberapa buku yang ditulis dan diterbitkan tahun 1978. Menurutnya, islamisasi bukan sekadar mempertemukan atau menyandingkan ilmu umum dan ilmu keislaman, melainkan lebih merupakan rekonstruksi ontologis dan epistemologis ilmu umum yang tidak sesuai dengan nilai Islam agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sebab, dari sisi inilah lahir sebuah disiplin ilmu.
    Gagasan Naquib ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari para intelektual Muslim dunia. Sehingga, pada tahun yang sama diadakan Konferensi I di Swiss, disusul Konferensi II tahun 1983 di Islamabad, Pakistan; Konferensi III tahun 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia; Konferensi IV tahun 1987 di Khortum, Sudan. Di Amerika, gagasan islamisasi sains Naquib disambut masyarakat Islam yang dipelopori Ismail Raji Al-Faruqi (1921-1986 M) dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), di Washington DC, tahun 1982.

A. Riwayat Hidup

    Sayid Muhammad Naquib Al-Attas lahir di Jawa Barat, Indonesia, 5 September 1931. Ayahnya, Syed Ali ibn Abdullah Al-Attas adalah orang terkemuka di kalangan Syed, sementara ibunya, Syarifah Raguan Al-Idrus, adalah keturunan dari raja-raja Sunda Sukaparna. Dengan latar belakang keluarga yang demikian menunjukkan bahwa Naquib bukan datang dari kelompok sosio-kultur biasa melainkan dari kaum ningrat. Dalam diriya mengalir tidak hanya darah biru, tapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam hierarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam tasawuf.

B. Latar Belakang Islamisasi

    Gagasan Islamisasi ilmu Naquib Al-Attas, pada dasarnya, adalah respons intelektualnya terhadap efek negatif ilmu modern (Barat) yang semakin tampak dan dirasakan masyarakat dunia, yang menurutnya, merupakan akibat dari adanya krisis di dalam basis ilmu modern (Barat).
    Menurut Naquib, pandangan dunia Barat bersifat dualistik akibat dari kenyataan bahwa peradaban Barat tumbuh dari peleburan historis dari berbagai kebudayaan dan nilai-nilai. Yakni peleburan dari peradaban, nilai, filsafat dan aspirasi Yunani, Romawi kuno dan perpaduannya dengan ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh rakyat Latin, Jermania, Keltik dan Nordik. Dari Yunani diperoleh unsur-unsur filosofis, epistemologis, landasan-landasan pendidikan, etika dan estetika; dari Romawi diperoleh unsur-unsur hukum dan ilmu tata negera; dari ajaran Yahudi dan Kristen diperoleh unsur-unsur kepercayaan religius; dan dari rakyat Latin, Jermania, Keltik serta Nordik diperoleh nilai-nilai semangat dan tradisonal yang bebas dan nasionalisme. 
    Dalam hal ini, Naquib mengartikan islamisasi ilmu sebagai upaya untuk mengenali, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur peradaban Barat yang dualistik, sekularistik dan evolusioneristik yang pada dasarnya bersifat relativistik dan nihilistik, dari tubuh pengetahuan sehingga pengetahuan bersih dari unsur-unsur tersebut. Sebab, unsur-unsur ini beserta apapun yang dicelupinya tidak menggambarkan isi pengetahuan sejati tetapi hanya menentukan bentuk dan karakter di mana pengetahuan dikonsepkan, dievaluasi dan ditafsirkan sesuai dengan pandangan dunia Barat." Sejalan dengan itu, Naquib juga mengartikan islamisasi ilmu sebagai upaya pembebasan manusia, pertama dari tradisi magis, mitos, animis dan paham kebangsaan dan kebudayaan pra-Islam; kedua, dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya.

    Menurut Naquib, meski pengetahuan bersumber dari Tuhan bukan berarti pengetahuan hanya bisa dan harus digali dari wahyu. Seperti dikatakan Sardar," epistemologi Islam menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan, dan tidak menganjurkan satu cara melainkan banyak cara untuk mempelari objek kajian. Konsep ilmu mencakup semua bentuk pengetahuan, yang diperoleh lewat observasi, olah nalar maupun intuisi. Tegasnya, pengetahuan dapat diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoretis. Berbagai cara untuk mengetahui alam dan realitas adalah valid karena semuanya adalah 'wahyu' dan tunduk di bawah sunnah Tuhan. Wahyu Nya terdiri atas dua macam, tertulis dan tidak tertulis: yang tertulis adalah Al Quran, yang tidak tertulis adalah alam semesta.
    Pernyataan Naquib bahwa islamisasi konsep atau teori harus pararel atau didahului oleh islamisasi bahasa adalah sesuatu yang sangat bagus dan membantu. Sebab, perubahan bahasa dan islamisasi bahasa dapat memberi pengaruh besar pada cara pandang dunia seseorang sehingga dapat mengubah keyakinan dan perilaku yang bersangkutan. Akan tetapi, islamisasi bahasa tentu tidak sama dengan reislamisasi bahasa. Bahkan, pernyataan Naquib bahwa kita perlu melakukan reislamisasi bahasa dapat dinilai sebagai kemunduran. Sebab, bahasa bahasa atau kata-kata kunci dalam Islam, seperti dikatakan Naquib sendiri," telah selesai sejak abad permulaan Islam.

ISLAMISASI ILMI-ILMU SOSIAL

    Salah satu tokoh utama dalam program islamisasi ilmu, khususnya di Amerika, adalah Ismael Raji Al-Faruqi. Ia bahkan telah menjadi ikon program ini lewat pendidikan tinggi yang dibangunnya tahun 1981 di Washington DC, yaitu The International Institue of Islamic Thought (IIIT). Gagasan utamanya dalam program ini terdiri atas 12 langkah islamisasi ilmu.

A. Riwayat Hidup

    Ismail Raji Al-Faruqi lahir pada 1 Januari 1921 M, di Jaffa, Palestina, sebelum wilayah ini diduduki Israel. Pendidikan awalnya ditempuh di College des Ferese, Libanon, yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya, kemudian di American University, Beirut, jurusan Filsafat. Pada 1941, setelah meraih Bachelor of Arts (BA), ia bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS) Palestina di bawah mandat Inggris. Empat tahun kemudian, karena kepemimpinannya yang menonjol, Al-Faruqi diangkat sebagai gubernur di provinsi Galelia, Palestina, pada usia 24 tahun.

B. Latar Belakang Islamisasi

    Menurut Al-Faruqi, fakta bahwa apa yang dicapai sains modern, dalam berbagai aspeknya, merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan tersebut ternyata juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya. Menurut Al-Faruqi,' akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah dari nilai-nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima kesatuan, yaitu keesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia. Jelasnya, sains modern telah lepas atau melepaskan diri dari nilai-nilai teologis.
    Sementara itu, keilmuwan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memedulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuwan Muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah (fiqh produk Abad Pertengahan). Mereka menganggap bahwa syariah (fiqh) adalah hasil karya yang telah fixed dan paripurna sehingga segala perubahan dan pembaruan atasnya adalah penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid'ah. Mereka melupakan sumber utama kreativitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya.
    Bersama dengan itu, sistem dan model pendidikan islam yang dianggap sebagai unjung tombak kemajuan, justru mendukung dan melestarikan tradisi keilmuan islam yang stagnan. menurut Al-Faruqi, model pendidikan masyarakat islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara sempit, sisi hukum, dan ibadah mahdhah, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada model pendidikan salaf di pesantren. Kedua, sistem pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekular yang diadopsi secara mentah dari Barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem pendidikan umum. Kedua sistem ini menimbulkan dualisme (split) dalam kepribadian masyarakat Muslim. Alumnus pendidikan salaf (pesantren) cenderung bersikap konservatif-eksklusif dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana pendidikan modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.

C. Prinsip Dasar Islamisasi

       Untuk membumikan gagasannya tentang islamisasi ilmu, Al-Faruqi meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid yang terdiri lima macam kesatuan.
  1. Keesaan (kesatuan) Tuhan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara semesta. 
  2. Kesatuan ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang material, psikis, spasial (ruang), biologis, sosial, maupun estetis, adalah kesatuan yang integral. Masing-masing saling kait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Namun, bersamaan dengan itu, Dia juga menundukkan alam semesta untuk manusia sehingga mereka bisa mengubah polanya dan mendayagunakannya demi kesejahtaraan umat.
  3. Kesatuan kebeneran danpengetahuan. kebenaran bersumber pada realitas, dan jika semua realitas berasal dari sumber yang sama, Tuhan, maka kebenaran tidak mungkin satu.
  4. Kesatuan hidup. menurut Al-Fruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macan, yaitu (1) berupa hukum alam (sunnatullah). (2) berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama.
  5. Kesatuan manusia. Tata sosial Islam, menurut Al-Faruqi, adalah universal, mencangkup seluruh umat manusia tampa terkecuali.
D. Tujuan & Langkah Kerja

   Secara umum, islamisasi ilmu Faruqi dimaksudkan sebagai respons positif terhadap realitas pengetahuan modern yang sekularistik di satu sisi dan Islam yang selalu religious di sisi lain, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan inegral tanpa pemisahan di antara keduanya. Secara terprinci, tujuan yang dimaksud adalah:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern;
2. Penguasaan khazanah warisan Islam;
3. Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern;
4. Mamadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu                modern;
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana         Allah

     Program islamisasi ilmu Al-Faruqi yang menekankan perombakan total atas keilmuan sosial modern Barat karena dianggap bersifat Eurosentris, tampak lebih utuh, jelas, dan teperinci dibanding gagasan islamisasi ilmu yang dilontarkan pemikir lain. Langkah-langkah islamisasi ilmu yang diberikan dan kritiknya terhadap realitas pendidikan Islam juga merupakan sumbangan besar dan bermanfaat bagi perombakan sistem pendidikan Islam. Namun, gagasan ini bukan tanpa persoalan. Ada beberapa hal yang perlu disampaikan.

  1. Ketika Al-Faruqi menyatakan bahwa salah satu tujuan islamisasi ilmu adalah untuk relevasi islam pada setiap bidang ilmu pengetahuan.
  2. Tentang prinsip kesatuan kebenaran dan pengetahuan. Jika kebneran dan pengetahuan adalag satu dan sama, mencari pengetahuan berarti sama dengan mencari kebenaran.
  3. Untuk bagian terbesar abad XX, benar bahwa kriteria objektif telah memberikan basis epistemologi bagi ilmu-limu alam maupun ilmu sosial.
  4. Bahwa disiplin-disiplin ilmu tidak diatur dan diprogram dari langit.

Komentar